[1] Ibnu Abi Mulaikah –seorang rabi’in– berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua takut kemunafikan minimpa dirinya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan keimanan Jibril dan Mika’il.” (lihat Fath al-Bari [1/137])
[2] Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 47)
[3] Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan dengan hati. Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad oleh Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 98)
[4] Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al-Mustafid [2/107 dan 109])
[5] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Sesuai dengan kekuatan tawakal maka sekuat itulah keimanan seorang hamba dan bertambah sempurna tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala yang ingin dia lakukan atau tinggalkan, dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (lihat al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal. 101)
[6] ‘Umair bin Habib radhiyallahu’anhu berkata, “Iman mengalami penambahan dan pengurangan.” Ada yang bertanya, “Dengan apa penambahannya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah ‘azza wa jalla dan memuji-Nya maka itulah penambahannya. Apabila kita lupa dan lalai maka itulah pengurangannya.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 511)
[7] Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama -semoga Allah merahmati mereka- mengatakan bahwa makna manisnya iman adalah kelezatan di saat melakukan ketaatan dan sanggup menanggung berbagai kesulitan demi menggapai keridhaan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta lebih mengutamakan itu di atas kesenangan dunia.” (lihat Syarh Muslim [2/96]).
[8] Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah lalu meninggal dalam keadaan musyrik maka dia termasuk penghuni neraka secara pasti. Sebagaimana barangsiapa yang beriman kepada Allah (baca: bertauhid) dan meninggal dalam keadaan beriman (baca: tidak melakukan pembatal keislaman) maka dia termasuk penghuni surga, walaupun dia harus disiksa -terlebih dulu- di dalam neraka.” (lihat al-Kaba’ir cet. Dar al-‘Aqidah, hal. 11)
[9] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman -pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya- semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama [ketaatan] dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 63 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah)
[10] Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakar.” (lihat as-Sunnah li Abdillah ibni Ahmad ibni Hanbal, Jilid 1 hal. 378)
[11] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)
[12] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Iman itu telanjang sedangkan pakaiannya adalah ketakwaan. Hartanya adalah fikih (ilmu agama). Adapun perhiasannya adalah rasa malu.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1176)
[13] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sabar dan syukur menjadi sebab seorang hamba untuk bisa memetik pelajaran dari ayat-ayat yang disampaikan. Hal itu dikarenakan sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya. Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat baginya dan tidak akan menumbuhkan keimanan pada dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/145])
[14] Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata, “Apabila seorang hamba telah merasa malu kepada Rabbnya ‘azza wa jalla maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 291)
[15] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Janganlah salah seorang dari kalian taklid/membebek kepada siapa pun dalam hal agamanya; jika orang itu beriman maka dia pun beriman, dan jika orang itu kafir maka dia pun ikut kafir. Jika kalian harus mengikuti maka teladanilah orang-orang [salih] yang sudah meninggal. Sebab orang yang masih hidup tidak aman dari goncangan fitnah.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 49)
[16] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang beriman bersangka baik kepada Rabbnya sehingga dia pun membaguskan amal, adapun orang munafik bersangka buruk kepada Rabbnya sehingga dia pun memperburuk amal.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1157)
[17] Hasan al-Bashri rahimahullah menjelaskan tentang sifat orang-orang beriman yang disebutkan dalam firman Allah [QS. Al-Mu’minun: 60] yang memberikan apa yang bisa mereka berikan dalam keadaan hatinya merasa takut. Al-Hasan berkata, “Artinya, mereka melakukan segala bentuk amal kebajikan sementara mereka khawatir apabila hal itu belum bisa menyelamatkan diri mereka dari azab Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)
[18] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sebagian orang enggan untuk mudaawamah [konsisten dalam beramal] . Demi Allah, bukanlah seorang mukmin yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)
[15] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Iman yang sejati adalah keimanan orang yang merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla walaupun dia tidak melihat-Nya. Dia berharap terhadap kebaikan yang ditawarkan oleh Allah. Dan meninggalkan segala yang membuat murka Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1161)
[16] Thawus rahimahullah berkata, “Perumpamaan iman adalah seperti sebatang pohon. Pokoknya adalah syahadat, cabang dan daunnya adalah demikian. Adapun buahnya adalah wara’ [kehati-hatian]. Tidak ada kebaikan pada pohon yang tidak ada buahnya. Dan tidak ada kebaikan pada orang yang tidak memiliki sifat wara’.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1163)
[17] Mujahid rahimahullah berkata, “Sekuat-kuat simpul keimanan adalah cinta karena Allah dan membenci karena Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1170)
[18] Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya dzikir kepada Allah akan menanamkan pohon keimanan di dalam hati, memberikan pasokan gizi dan mempercepat pertumbuhannya. Setiap kali seorang hamba semakin menambah dzikirnya kepada Allah niscaya akan semakin kuat pula imannya.” (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 57)